Saturday, August 24, 2013

Konsep Kepemimpinan Perspektif Al-Mawardi, Ibnu Khaldun, An-Nawawi & Al-Anshori

Oleh:

Asy-Syaikh Al-Hafizh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan 



PENDAHULUAN

Untuk bahan renungan dan kajian kita tentang Pemilihan Umum, Marilah kita kaji dari perspektif Kitab Ahkamus Sulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi dan Kitab Al-Muqaddimah Ibnu Khaldun, serta beberapa komentar dari Imam Abi Zakaria Yahya al-Nawawi, Imam Abi Yahya Zakaria al-Ansory dan Abu Bakar al-Baqillany.

Setiap lima tahun sekali di Negara Indonesia terjadi pergantian kepemimpinan atau suksesi,meskipun Negara Indonesia bukan Negara islam namun mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga mau tidak mau mereka selalu menkaitkan kandidat presiden Indonesia dengan kriteria-kriteria pimpinan yang ada dalam Syari’at Islam.

Suasana menjadi semarak bahkan cenderung memanas bila para kandidat presiden tidak sepenuhnya memenuhi kriteria tersebut atau sebagian kriteria yang dimiliki kandidat masih diperselisihkan Ulama, kiranya pembahasan topik ini bisa bermanfa’at untuk masyarakat muslim dalam menentukan pemimpin masa depan di Negara Indonesia ini.

KONSEP AL-MAWARDI TENTANG KEPEMIMPINAN

Al-Mawardi adalah merupakan salah satu tokoh penting dalam merumuskan teori dan konsep yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan menurut agama Islam, dalam kitabnya, “al-Ahkâm al-Shulthâniyyah”, beliau menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu negara atau daerah adalah wajib hukumnya, baik secara rasional maupun syara’.

Secara rasional, tidak mungkin ada suatu negara atau daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh kepala negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka masyarakat akan hidup dalam hukum rimba karena tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kezhaliman dan tidak ada pihak yang akan menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum).

Secara syara’ kewajiban mengangkat pimpinan diketahui dari kesepakatan sahabat dan tabi’in karena para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad SAW mereka bergegas membaiat Abi Bakar Ash-Shiddiq untuk menjadi kholifah begitu juga pada masa-masa tabi’in mereka semua tidak pernah membiarkan kepemimpinan kosong. Menurut syara’, imam ( kepala Negara) adalah pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur masalah-masalah kemasyarakatan,masalah-masalah duniawi dengan aturan-aturan agama, menempatkan hak-hak rakyat sesuai dengan proporsinya dan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana firman Alloh dalam surat al Hajji ayat 41

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

Artinya,:
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.

Sedangkan untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses pemilihan atau suksesi.

Imam Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulltoniah menyatakan bahwa mengangkat pimpinan adalah fardu kifayah, jika dalam suatu Negara belum ada presiden maka dibentuklah dulu dewan pemilih (الإختيار أهل) lalu ditentukan kandidat presiden.

Orang-orang yang menjabat dewan pemilih harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
Adil dan segala aspeknya
Memiliki ilmu pengetahuan yang dapat dipergunakan untuk mengetahui orang-orang yang layak dan berhak menjadi kandidat presiden.
Memiliki kecerdasan, pandangan luas serta kebijaksanaan sehingga mampu memilih yang terbaik dari beberapa kandidat yang ada.                                                                                                                      
Adapun kandidat presiden menurut beliau harus memenuhi tujuh persyaratan antara lain:
Adil dan segala aspeknya
Berilmu pengetahuan sehingga bisa membuat keputusan yang tepat terhadap berbagai masalah yang timbul.
Selamat indranya baik penglihatan, pendengaran maupun lisanya agar ia mampu mengetahui langsung persoalan yang ia hadapi.
Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat, karena jika cacat maka hal itu akan mengganggu atau menghalanginya untuk bergerak dan bertindak dengan cepat.
Mempunyai kecerdasan yang membuat dirinya mampu mengatur rakyat dan mengelola kepentingan publik
Memiliki keberanian dan ketegasan sehingga mampu melindungi pihak yang lemah dan mampu menghadapi musuh.    


KONSEP IMAM NAWAWI TENTANG KEPEMIMPINAN

imamah (kepemimpinan) dengan arti mengangkat pimpinan Negara menurut Imam Abi Zakaria Yahya al-Nawawi adalah fardlu kifayah dengan alasan-alasan tersebut diatasKekuasaan memang menggiurkan semua orang, banyak orang yang berusaha sekuat tenaga dengan mengerahkan berbagai upaya untuk menjadi penguasa sementara kekuasaan mempunyai watak otoriter dan cenderung korupsi, ngingat beratnya tugas dan banyaknya godaan di dalamnya seseorang yang dicalonkan menjadi imam harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat agar dapat membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur sejahtera dan sentosa.

Al Quran juga menyinggung masalah kepemimpinan dalam kisah pengangkatan raja Tholut, segelintir orang tidak setuju dengan pengangkatannya karena ia miskin namun ia memang layak jadi pimpinan karna ia dikaruniai Alloh SWT ilmu pengetahuan dan jasmani yang bagus yang mengindikasikan pada kemampuan untuk memimpin dan pada akhirnya ia bisa mengalahkan aggressor yang dipimpin oleh Jalut sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Baqoroh ayat 147

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ


KONSEP IMAM IBNU KHALDUN TENTANG KEPEMIMPINAN

Imam Ibnu Kholdun dalam kitabnya al- Muqoddimah menyatakan bahwa syaratnya kandidat presiden ada 4, yaitu:
a) Ilmu pengetahuan, karna hanya orang-orang yang punya ilmu pengetahuan yang bisa melestarikan hukum-hukum Alloh, yang layakmenjadi pimpinan adalah para mujtahid bukan sekedar muqollid.
b) Bersifat adil, karna adil merupakan syarat dalam hal-hal yang terkait dengan agama semisal kesaksian , perwalian maka syarat adil dalam masalah kepemimpinan lebih ditekankan lagi
c) Kemampuan(capabilty), sanggup melaksanakan tugas yang telah ditetapkan oleh undang- undang,berani berperang dan mengetahui strateginya, sanggup memobilisasi rakyat untuk berperang, mampu berdiplomasi agar fungsinya melindungi agama, menegakkan hukum, mengatur kepentingan umum bisa tercapai dengan baik.
d) Sehat jasmani, rohani, panca indranya dapat berfungsi dengan baik tidak ada kekurangan semisal gila, buta, tuli.

Adapun syarat harus dari kabilah Qurais menurut beliau masih diperselisihkan, ulama’ yang tidak setuju dengan syarat ini adalah Abu Bakar al-Baqillany.

KONSEP IMAM ABI YAHYA ZAKARIA AL-ANSHORI TENTANG KEPEMIMPINAN

Imam Abi Yahya Zakaria al-Ansory dalam kitab Fathil wahab menyatakan bahwa kandidat presiden harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
e) Islam.
f) Merdeka.
g) Baligh.
h) Berakal.
i) Adil.
j) Laki-laki.
k) Mujtahid.
l) Dari qobilah qurois
m) Pemberani.
n) Melihat.
o) Mendengar.
p) Mampu berbicara.

Karena itu, orang kafir, anak kecil, orang gila, budak, perempuan, hunsa, orang buta, orang tuli, orang fasik, orang yang pikiranya terganggu baik diakibatkan oleh semacam penyakit seperti stroke atau diakibatkan oleh faktor usia tidak layak dan idak boleh dijadikan presiden.

Adapun syarat yang menyatakan bahwa imam harus dari kabilah Qurois itu didasarkan pada sabda nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’I Nabi Muhammad SAW bersabda:

الأئمة من قريش فإن فقد فكناني ثم رجل من بني إسماعيل ثم عجمي

“Para imam itu dari kabilah qurois,kalau tidak ada maka dari kabilah kinanah,kemudian laki-laki dari Bani Isma’il,baru kemudian bisa dari selain bangsa arab(ajam)”.

Persyaratan ini memang tampak rasialis dan menjadi sulit diterima masyarakat modern karena itu sebagian ulama’ menolaknya meskipun demikian banyak juga ulama’ yang membelanya dengan alasan bahwa apa yang disampaikan nabi Muhammad pasti mengandung hikmah yakni untuk menghilangkan perpecahan ditengah masyarakat, adanya solidaritas dan superioritas kaum Quraish, orang Quraish termasuk suku Mudhor yang dianggap paling perkasa dan berwibawa serta merupakan cikal-bakal suku lain, saat ini suku Quraish sudah menyebar keseluruh dunia hingga tidak sulit untuk mencari keturunan Qurais di negara manapun.

Kalau dipahami dari redaksi hadist secara utuh sebetulnya hadist ini sangat dinamis, artinya bila keturunan Qurais tidak punya kemampuan memimpin atau tidak mau memimpin maka yang lebih berhak adalah yang punya kemampuan meskipun dari kalangan ajam. Seseorang yang lemah fisiknya hingga tidak bisa bekerja juga tidak bisa calonkan menjadi imam

TATA CARA PENGANGKATAN IMAM

Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam proses penggantian kepemimpinan. Pada zaman primitive, proses perebutan kekuasaan ditempuh dengan cara perang fisik dan adu otot. Sehingga, untuk merebut kekuasaan, haruslah jago berperang dan pandai bertempur,pada zaman sahabat dan tabi’in setidaknya ada tiga tata cara pengangkatan seorang imam yaitu:
a) Bai’at dari Ahlul halli waal aqdi,dalam model ini tidak disyaratkan adanya penerimaan dari orang yang dibai’at. Ahlul halli wal aqdi adalah kelompok masyarakat yang mempunyai keutamaan dari sisi agama,ahlak,ilmu kemasyarakatan, mereka ini mendapat sebutan Ahlul ihtiyar, Ahlussyuro, Ahlurro’yi. Jumlah mereka tidak dibatasi menurut pendapat yang mu’tamad, namun menurut pendapat lain dibatasi minimal 40 orang.
b) Penunjukan dari pimpinan sebelumnya agar ia menjadi penggantinya setelah pimpinan tersebut mangkat,dalam model ini harus ada penerima’an dari yang ditunjuk saat yang menunjuk tadi masih hidup,seperti yang terjadi pada Kholifah Umar ibn Khottob.semakna dengan model ini adalah penunjukan Ahli syuro yang dilakukan oleh Sayyidina Umar untuk menentukan kholifah selanjutnya dan akhirnya disepakati Sayyidina Usman menjadi Kholifah ketiga.
c) Imamah bisa diperoleh dengan cara kudeta, meskipun ia fasik,bodoh dan tidak memenuhi syarat menjadi imam,hal ini menjadi legal karna pertimbangan maslahah yakni agar suasana menjadi kondusif dan rakyat bisa menjalankan aktifitas keseharianya dengan tenang.Pada era modern, masyarakat lebih memilih metode pemilihan umum sebagai alternative yang paling rasional dan aman dalam perebutan kekuasaan.

Pada prinsipnya, pemilu adalah cermin dari kedaulatan rakyat, untuk memilih orang terpercaya untuk menjadi pemimpinnya. Pemilu merupakan suatu keharusan, demi berlangsungnya pemerintahan untuk mengatur urusan rakyat. Dalam Negara yang demokratis, masih meyakini bahwa pemilu adalah pesta rakyat yang paling aman dan lebih menjamin keadilan untuk proses suksesi kepemimpinan dalam suatu Negara atau daerah. Negara atau daerah adalah instrument kemasyarakatan, sedangkan pemilu adalah instrument kenegaraan, dimana tanpa pemilu, suatu Negara atau daerah akan mengalami stagnan. Oleh karenanya, pemilu menjadi suatu keniscayaan. Pemikiran semacam ini, sejalan dengan kaidah fiqhiyyah;

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ، فَهُوَ وَاجِبٌ

Artinya,:
”Sesuatu yang menjadi instrument yang wajib, dimana kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan tanpanya, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya”

Organisasi yang disebut Negara, di Negara modern ini masih diyakini sebagai suatu keharusan sedangkan pemilu adalah instrumennya. Maka, pemilu menjadi suatu keharusan pula.

Dalam pemilu, yang memiliki hak suara adalah rakyat. Rakyat berhak untuk menentukan pilihan kepada salah satu calon pemimpin, sesuai dengan “getaran” nuraninya. Bahkan, rakyat juga berhak untuk tidak menyalurkan aspirasinya (golput) kepada siapapun. Sebab, golput juga merupakan suatu pilihan. Pilihan untuk golput, bisa jadi Karena factor proses pemilu yang tidak dapat dipercaya, atau karena sudah tidak lagi mempercayai produknya yang akan mewakili dan memimpinnya Akan tetapi, siapapun tidak berhak untuk memaksa rakyat untuk menyalurkan aspirasinya kepada calon tertentu. Sebab, secara secara undang-undang dan etika politik, tak seorangpun berwenang untuk memaksanya.

Pemilu, akan menjadi “hajat orang banyak” jika dapat mencerminkan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, memberikan suara kepada salah satu calon pemimpin bukanlah sebuah kewajiban secara personal (fardl ‘ain) menurut islam, namun sebatas kewajiban secara komunal (fardl kifâyah). Akan tetapi, disaat ini, ketika kita telah larut dalam permainan politik dan kurang memihak terhadap kepentingan rakyat, sementara diyakini ada salah satu calon pemimpin yang dipercaya dapat menjadi pemimpin dan membawa perubahan ke arah “pro rakyat”, maka partisipasi politik dan memberikan suara pada saat pemungutan suara menjadi sebuah kewajiban secara personal (fardl ‘ain).

TUGAS -TUGAS IMAM

1. mendakwahkan agama islam baik dengan tulisan, lisan, dan senjata.
2. Memperkuat pasukan dan benteng.
3. Berlaku adil dan berusaha menghilangkan kedholiman.
4. Memperkuat persatuan.
5. Memberdayakan sumber daya alam dengan baik.

Friday, April 19, 2013

Hadits Tentang Khilafah Islam


dikumpulkan oleh:
Asy-Syaikh Al-Hafizh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan


Imam Ahmad meriwayatkan:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

Telah berkata kepada kami Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy; di mana ia berkata, “Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, “Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir; dimana ia berkata, “Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, –Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, “Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, “Saya hafal khuthbah Nabi saw.” Hudzaifah berkata, “Nabi saw bersabda, “Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam”.[HR. Imam Ahmad]